KEMUHAMMADIYAAN
A. KEMAJUAN PERADABAN ISLAM DALAM BERBAGAI BIDANG
A. KEMAJUAN PERADABAN ISLAM DALAM BERBAGAI BIDANG
2.1 Kemajuan Intelektual
Spanyol
adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang
tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Spanyol
Islam merupakan
KEMUHAMMADIYAAN
masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab
(Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam),
Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk
daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan
dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen
Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam.
Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual
terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan
Ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.
a.
Filsafat
Islam
di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam
bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang
dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap
filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama
pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886
M).
Atas
inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari
Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan
universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani
Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof
besar pada masa sesudahnya.
Tokoh
utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn
al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Saragosa, ia
pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fez tahun 1138 M
dalam usia yang masih muda. Seperti al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah
yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir
al-Mutawahhid.
Tokoh
utama kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil
di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak
menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang
sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.
Bagian
akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang
terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ia
lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan
dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti
masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli
fiqh dengan karyanya Bidayah al- Mujtahid.
b.
Sains
IImu-ilmu
kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang
dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah
orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya
al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya
gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat
teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan
bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang
obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja'far dan saudara perempuan al-Hafidz
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam
bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak
pemikir terkenal, Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang
negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier
(1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib (1317-1374 M)
menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus
filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang
kemudian pindah ke Afrika. Itulah sebagian nama-nama besar dalam bidang sains.
c.
Fiqh
Dalam
bidang fiqh, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang
memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziad ibn Abdurrahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi Qadhi pada masa Hisyam Ibn
Abdurrahman. Ahli-ahli Fiqh lainnya diantaranya adalah Abu Bakr ibn
al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa'id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
d.
Musik dan Kesenian
Dalam
bidang musik dan suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya
al-Hasan Ibn Nafi yang dijiluki Zaryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan
dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal
sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya
baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya
tersebar luas.
e.
Bahasa dan Sastra
Bahasa
Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal
itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli
Spanyol menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan
mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka
itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Aljiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj,
Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring
dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-'Iqd
al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn
Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang
lain.
2.2 Kemegahan Pembangunan Fisik
Aspek-aspek
pembangunan fisik yang mendapat perhatian ummat Islam sangat banyak. Dalam
perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian
juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak
mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan
jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga
mendapat jatah air.
Orang-orang
Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam
digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi
(penyimpanan air). Pengaturan hydrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda
air (water wheel) asal Persia yang dinamakan naurah (Spanyol: Noria). Disamping
itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk,
kebun-kebun dan taman-taman.
Industri,
disamping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi
Spanyol Islam. Diantaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri
barang-barang tembikar.
Namun
demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan
gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, dan
taman-taman. Diantara pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota
al-Zahra, Istana Ja'fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana al-Makmun,
masjid Seville, dan istana al-Hamra di Granada.
a.
Cordova
Cordova
adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani
Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar
dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun
untuk menghiasi ibu kota Spanyol Islam itu. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor
dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang semakin
mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di
puncaknya terpancang istana Damsik. Diantara kebanggaan kota Cordova lainnya
adalah masjid Cordova. Menurut ibn al-Dala'i, terdapat 491 masjid di sana.
Disamping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat
pemandian. Di Cordova saja terdapat sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya
berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat
diminum, penguasa muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya
80 Km.
b.
Granada
Granada
adalah tempat pertahanan terakhir ummat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul
sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh
Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur
bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana al-Hamra yang indah dan megah
adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu
dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya. Kisah tentang kemajuan
pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan istana al-Zahra,
istana al-Gazar, menara Girilda dan lain-lain.
2.3 Faktor-faktor Pendukung Kemajuan
Spanyol
Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat
dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti
Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman al-Wasith dan Abdurrahman al-Nashir.
Keberhasilan
politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan
penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang
terpenting diantara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah
Muhammad ibn Abdurrahman (852-886) dan al-Hakam II al-Muntashir (961-976).
Toleransi
beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan
Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di
Spanyol. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi,
disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama
mereka masing-masing.
Masyarakat
Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas,
baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama,
komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya
masing masing.
Meskipun
ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol,
hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad
ke-11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat
wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal
ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan
politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dunia Islam.
Perpecahan
politik pada masa Muluk al- Thawa'if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya
peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan,
kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti (raja) di Malaga,
Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau
sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di
Spanyol, Muluk al Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang
diantaranya justru lebih maju.
B. SEBAB SEBAB KEMUNDURANNYA
Setelah
peradaban Islam mencapai puncaknya, kemudian mengalami kemunduran- bagaikan
rembulan yang telah menjadi purnama, maka malam-malam berikutnya cahayanya
perlahan-lahan redup dan hilang ditelan keremangan malam yang pekat. Sedangkan
sebab-sebab kehancuran dunia Islam itu antara lain;
2.4
Menurunnya Kreativitas Keilmuan Umat Islam
Pemikiran
rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Persepsi ini bertemu dengan
persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di
kota-kota pusat peradaban Yunani di dunia Islam zaman klasik, seperti
Aleksandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syria) dan Bactra (Persia).
Di sana memang telah berkembang pemikiran rasional Yunani.
Pertemuan
Islam dan peradaban Yunani pada masa awal Islam- melahirkan pemikiran rasional
di kalangan ulama Islam zaman klasik. Tapi, perlu ditegaskan di sini bahwa ada
perbedaan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran rasional Islam zaman
klasik. Di Yunani tidak dikenal agama Samawi, maka pemikiran bebas, tanpa
terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh, dan berkembang. Sementara pada masa
Islam klasik pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam
sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.
Oleh
karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka
dalam Islam zaman klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran
ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang
agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber
utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para
filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan
al-Qur’an dan hadits. Filsafat dan sains berkembang dengan pesat di dunia Islam
zaman klasik ini- di samping ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, akidah,
ibadah, muamalah, tasawuf, dan sebagainya. Perkembangan yang pesat ini bukan
hanya di dunia Islam bagian timur yang berpusat di Baghdad, tetapi juga di
dunia Islam bagian Barat, yakni Andalusia (Spanyol Islam) dengan kedua kotanya;
Cordoba dan Sevilla.
Di
zaman Islam klasik, Eropa sedang berada pada zaman pertengahan yang
terbelakang. Tidak mengherankan kalau orang-orang Eropa dari Italia, Prancis,
Inggris, dan lain-lain, berdatangan ke Andalusia untuk mempelajari sains dan
filsafat yang berkembang dalam Islam. Kemudian mereka pulang ke tempat
masing-masing membawa ilmu-ilmu yang mereka peroleh itu. Buku-buku ilmiah Islam
mereka terjemahkan ke dalam bahasa latin.
Melalui
mereka pemikiran rasional Islam yang agamis itu beserta sains dan filsafatnya
dibawa ke Eropa, tetapi di sana menghadapi tantangan dari Gereja. Pertentangan
itu membuat ulama sains dan filsafat di Eropa melepaskan diri dari Gereja dan
pemikiran rasional di sana berkembang terlepas dari ikatan agama. Pemikiran
rasional di Eropa pada zaman Renaisans dan zaman Modern kembali menjadi sekular
seperti di zaman Yunani sebelumnnya. Pemikiran rasional sekular itu membawa
kemajuan pesat dalam bidang filsafat, sains, dan teknologi di Eropa sebagaimana
yang kita saksikan sekarang ini.
Ketika
pemikiran rasional Islam pindah ke Eropa dan berkembang di sana, di dunia Islam
zaman pertengahan berkembang pemikiran tradisional, menggantikan pemikiran
rasional tersebut. Dalam pemikiran tradisional ini, para ulama bukan hanya
terikat pada al-Qur’an dan hadits, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama
zaman klasik yang amat banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ruang lingkup
pemikiran ulama zaman pertengahan sangat sempit. Mereka tidak punya kebebasan
berpikir. Akibatnya sains dan filsafat, bahkan juga ilmu-ilmu agama, tidak
berkembang di dunia Islam zaman pertengahan. Filsafat dan sains malahan hilang
dari peredaran. Ini bertentangan sekali dengan keadaan di Eropa zaman modern di
mana, seperti telah disinggung di atas, filsafat dan sains amat pesat
berkembang dan jauh melampaui capaian dunia Islam.
Sementara
itu, pendidikan dan pengajaran Islam pada masa itu- hanya berkutat pada
materi-materi keagamaan. Lembaga-lembaga keagamaan tidak lagi mengajarkan
ilmu-ilmu filosofis, termasuk ilmu pengetahuan. Rasionalisme pun kehilangan
peranannya, dalam arti semakin dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan
dicurigainya pemikiran rasional, daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan
sehingga pemikiran kritis, penelitian, dan ijtihad tidak lagi dikembangkan.
Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang
menghasilkan karya-karya intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang
mengikuti pemikiran-pemikiran ulama terdahulu daripada berusaha melakukan
penemuan-penemuan baru. Keterpesonaan terhadap buah pikiran masa lampau,
membuat umat Islam merasa cukup dengan apa yang sudah ada. Mereka tidak mau
berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan-gagasan keagamaan yang
cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau
ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan pembaca
untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-kalimat secara
semantik; atau menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-ucapan para ulama
lain.
Ketika
umat Islam Timur Tengah menjalin kontak dengan Barat pada abad kedelapan belas
Masehi- mereka amat terkejut melihat kemajuan Eropa. Mereka tidak menyangka
bahwa Eropa yang belajar dari mereka pada abad kedua belas dan abad ketiga
belas telah begitu maju, bahkan mengalahkan mereka dalam peperangan-peperangan
seperti yang terjadi anatara Kerajaan Turki ‘Utsmani dan Eropa Timur.
Hal
ini membuat ulama-ulama abad kesembilan belas merenungkan apa yang perlu
dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali sebagaimana umat Islam
zaman klasik dulu. Maka lahirlah pembaruan Islam di Mesir seperti al-Thatthawi,
Muhammad Abduh, dan Jamaluddin al-Afghani; di Turki dengan tokoh-tokohnya
seperti Mehmet Sedik Rifat, Nemik Kamal. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer
Ali, dan Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar
ketinggalan itu umat Islam harus menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis
zaman klasik Islam dengan perhatian yang besar pada sains dan teknologi.
2.5
Kesatuan Integral; antara Agama dan Negara dalam Islam
Islam
tidak memisahkan antara agama dan negara. Sebagaimana al-Qur’an membicarakan
tentang Allah dan keesaannya, surga dan neraka, pahala dan dosa, juga
menetapkan puasa dan shalat, serta menganjurkan umat Islam untuk berakhlak
mulia. Ajaran Islam juga mensyariatkan tentang undang-undang jual beli, ijarah,
hudud, hukum waris, masalah peperangan, problem solving rumah tangga, dan
lain-lain.
Ketidakterpisahan
itu, tergambar jelas pada keseharian Rasulullah, selain menjadi pemimpin umat,
beliau juga memimpin pasukan, membuat perjanjian, melakukan pengiriman
delegasi-delegasi negaranya ke wilayah lain. Demikian juga yang dilakukan oleh para
khalifah sesudah beliau.
Oleh
karena itu, sulit diterima akal sehat- kalau ada yang mengemukakan, bahwa
ajaran agama adalah salah satu unsur penyebab kemunduran umat Islam. Padahal
sebaliknya- justru agama sebagai faktor utama yang membuat perkembangan dan
kemajuan peradaban Islam. Karena ajaran agama- menganjurkan umatnya untuk
bekerja keras- agar meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hal
senada juga dikemukakan Maududi, bahwa pentingnya menjadikan Islam sebagai
ideologi holistik. Dia mencela tradisi Islam dan institusi-institusi
tradisional yang mencoba memisahkan agama dengan politik. Baginya, agama dan politik (negara) merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan komponen yang menyatu dengan
kebenaran Islam. Oleh karena itu, upaya memaksimalkan da’wah Islamiyah harus
ditujukan pada sasaran utamanya yaitu mendirikan negara Islam.
Hanya
negara Islamlah yang mampu mengatasi berbagai macam problematika yang dihadapi
umat Islam saat ini. Pandangan Maududi yang cukup radikal ini merupakan sintesa
harmonis dan sinergis dalam rangka memetakan da’wah dan politik dalam satu
wilayah yang tidak dapat dipisahkan sama sekali.
2.6 Islam
Agama yang Sesuai dalam setiap Zaman dan Tempat
Dalam
ajaran Islam ada adagium yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang selalu
sesuai dalam setiap zaman dan tempat. Tetapi dalam prakteknya ada yang
beranggapan- bahwa ajaran Islam itu tidak mungkin di praktekkan umat Islam
selalu sesuai dengan zaman dan tempat di mana mereka hidup.
Padahal,
sebagaimana yang dikemukakan ulama, bahwasanya ajaran tauhid dan akhlak yang
baik adalah mutlak- dan tentu termasuk keberadaan akal yang sehat- karena
sangat berguna bagi umat manusia. Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa agama
Islam adalah agama yang diperuntukkan bagi kebahagiaan umat manusia di dunia
dan akhirat.
Oleh
karena itu, Islam sangat menghargai posisi akal dan mengajak umat manusia untuk
mempergunakannya sebaik mungkin.
Seperti yang disinyalir Allah Swt, dalam al-Qur’an
Surat, Yasiin [36]: 68, sebagai berikut;
“Dan Barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya
niscaya Kami kembalikan Dia kepada kejadian(nya). Maka Apakah mereka tidak
memikirkan?,” (QS. Yasiin [36]: 68).
Al-Qura’an Surah, Arrum [30]: 28,
sebagai berikut;
“Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu
sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu,
sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; Maka
kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada
mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan
ayat-ayat bagi kaum yang berakal.” (QS. Arrum [30]: 28).
Sebagaimana
yang sudah dijelaskan sebelumnya- bahwa ajaran Islam diturunkan ke muka bumi
untuk kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat. Hal itu ditandai dengan
pembahasan ajaran Islam yang menyentuh seluruh ranah aspek kemanusiaan umat
manusia. Diantaranya membahas hal-hal yang berkenaan dengan spiritual,
civilization, konsep ketuhanan, kredo tentang surga, neraka, dan hari
kebangkitan. Dalam urusan muamalah, misalnya membahas tentang jual beli,
penggadaian, problem solving rumah tangga, harta warisan, dan lain-lain.
Tentunya,
apabila peran akal sangat kurang dalam memahami dan menyelesaikan
masalah-masalah diatas- pasti akan berdampak pada penyelesaian masalah tersebut
yang tidak akan behasil dengan baik. Oleh karena itu, peran akal dalam
menyelesaikan suatu persoalan sangat mendasar- agar pengetahuan yang dihasilkan
bermanfaat dan tidak berujung pada kerusakan.
Tidaklah
berlebihan kalau Ahmad Syalabi menyatakan bahwa- akal dan wahyu sama sekali
tidak bertentangan. Apabila terkesan terjadi pertentangan antara akal dan
wahyu. Hal itu lebih disebabkan karena keterbatasan dan kelemahan akal dalam
menafsikran ajaran suci wahyu. Oleh karena itu, suatu masalah yang dijelaskan
wahyu- sudah bisa dipastikan, pasti menyuarakan kebenaran. Seperti perumpamaan
mengenai hak waris suami terhadap isteri dan sebaliknya, kemudian berdasarkan
pertimbangan akal tidak menerima ketentuan tersebut, karena pembagiaannya
dianggap tidak adil. Maka sudah barang tentu- yang harus diikuti adalah wahyu.
Karena hal ini menunjukkan kelemahan akal yang tidak mampu mengambil hikmah
terdalam dari apa yang disyariatkan Islam.
2.7 Hancurnya ketahanan moral umat Islam
Hancurnya
ketahanan moral umat Islam, lebih disebabkan- karena umat Islam dihinggapi
“penyakit” wahn (hubbundunya wa karahiyatul mauwt). Umat Islam dilanda sikap
hidup berfoya-foya, korup, dan tidak dekat lagi dengan kehidupan para
mustadh’afin dan nasib yang menimpa para dhu’afa. Ibnu khaldun mengemukakan,
“Kemewahan itu merupakan pertanda bahwa peradaban suatu bangsa yang dibangun akan
mengalami kehancuran.
Musuh-musuh
Islam melihat dengan jelas kerusakan dalam masyarakat Muslim. Dalam kaitan
dengan runtuhnya Daulah Abbasiyah- duta dari Mongol, Hulaghu Khan, menggunakan
argumen kaum Muslimin, yang didukung oleh referensi dari al-Qur’an Suci, untuk
membenarkan tindakan mereka. Hulaghu Khan menulis surat, “Doa-doa melawan kami
tidak akan di dengar karena kalian telah memakan yang diharamkan dan kata-kata
kalian kotor, kalian mengingkari sumpah dan janji, dan ketidakpatuhan dan
perpecahan terjadi di antara kalian. Diingatkan bahwa kelompok kalian akan malu
dan dihina. “Hari ini kamu diberi azab yang menghinakan karena kamu berlaku
sombong di muka bumi tanpa kebenaran dan karena kamu telah fasik’ (QS, al-Ahqaf [46]: 20. “Dan
orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan
kembali.” (QS, asy-Syu’ara [26]: 227).
Hulaghu Khan memperkirakan dengan tepat, “Kalian akan menderita malapetaka di
tangan kami, dan tanah-tanah kalian akan kosong dari kalian.”
Hal
yang penting bahwa banyak cendekiawan Muslim masa itu yang menentang penguasa
Baghdad, bahkan bergabung dengan bangsa Mongol. Khawaja Nashiruddin Thusi,
salah seorang cendekiawan Syi’ah termasyhur (1201-1274) dan dihormati oleh Imam
Khomeini, juga bergabung dengan penakluk dari Mongol, Hulaghu, m ketika dia melewati Iran dalam perjalanannya
ke Baghdad. Ini menimbulkan tuduhan keterlibatan dalam penaklukan.
2.8
Berkembangnya Sikap hidup Fatalistis
Berkembangnya
sikap hidup fatalis umat Islam- yang bergantung dan mengembalikan segala
keuntungan dan penderitaan kepada Tuhan. Sikap hidup yang fatalis ini ditandai
dengan tidak lagi percaya kepada kemampuannya untuk maju atau mengatasi problem
keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Oleh
karena itu, mereka masuk ke tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh
dalam hidup umat Islam. Dengan berdzikir dan berdoa sebanyak-banyaknya mereka
berharap semoga Allah menghapus penderitaan mereka dan mengembalikan kejayaan
yang pernah dicapai umat Islam. Berpikir ilmiah dan pengembangan sains kurang
mendapat perhatian.
Karena
itulah, berkembang tahayyul dan khurafat. Mereka percaya pada kekuatan
syeikh-syeikh dan benda-benda keramat, sebagaimana yang telah digambarkan oleh
Ahmad Amin mengutip dari Muhammad bin Abd al-Wahhab:
...Para
wali itu didatangi dan dijadikan tempat bernazar. Banyak orang Islam yang
percaya bahwa wali-wali itu mampu mendatangkan kebaikan dan bahaya.
Kuburan-kuburan tidak terbilang jumlahnya yang dibangun di seluruh daerah
Islam. Orang-orang datang ke sana, meminta berkah, merendahkan diri
dihadapan-nya, dan meminta untuk mendapatkan kebaikan dan dijauhkan dari
kesulitan. Di setiap tempat terdapat satu atau beberapa wali.
2.9 Sikap Hidup Umat Islam yang kurang Toleran
Sikap-sikap
tidak toleran dan fanatik kepada madzhab atau golongan sendiri itulah yang
menyebabkan umat Islam mundur. Tidak saja karena sikap-sikap itu menyedot
energi masyarakat, tapi juga memalingkan perhatian orang dari hal-hal yang
lebih mendasar dan menentukan perkembangan dan kemajuan peradaban. Syeikh
Muhammad Rasyid Ridla, seorang tokoh pemikir Islam Zaman Modern dari Mesir
(murid dan teman Syeikh Muhammad ‘Abduh), dalam mukaddimahnya untuk penerbitan
kitab al-Mughni (oleh Ibn Qudamah) menggambarkan sikap-sikap tidak toleran itu
demikian:
Mereka
yang fanatik kepada madzhab itu mengingkari bahwa perbedaan adalah rahmat,
semuanya bersikeras dalam sikap pastinya bertaqlid kepada madzhabnya, dan
mengharamkan para penganutnya untuk mengikuti yang lain sekalipun untuk suatu
keperluan yang membawa kebaikan. Sikap saling menjatuhkan satu sama lain sudah
dikenal dalam buku-buku sejarah dan buku-buku lain, sehingga dapat terjadi
bahwa sebagian orang Islam, jika mereka dapati penduduk suatu negeri bersikap
fanatik kepada madzhab selain madzhab mereka sendiri, mereka pandang penduduk
negeri itu bagaikan memandang onta yang penyakitan.
Rasyid Ridla juga menceritakan bahwa pada zaman
Modern ini, di akhir abad ketigabelas Hijriah, di Tripoli, Syria, dan beberapa
tokoh madzhab Syafi’i mendatangi mufti- dan dia adalah pembesar ulama di sana-
agar ia membagi masjid setempat menjadi dua antara mereka dan para penganut
madzhab Hanafi. Alasannya, tokoh tertentu dalam madzhab Hanafi itu memandang
para penganut madzhab Syafi’i seperti ahl al-dzimmah (non-Muslim yang harus
dilindungi) berdasarkan pendapat yang saat-saat itu menyebar luas bahwa seorang
penganut madzhab Hanafi tidak dibenarkan nikah dengan seorang penganut madzhab
Syafi’i. Para penganut madzhab Syafi’i itu diragukan imannya, karena membolehkan orang mengatakan: “Saya
beriman, insya Allah.” Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai
kepastian dalam iman mereka, padahal iman menuntut keyakinan- dan sebaliknya.
2.10 Jatuhnya Kekhalifahan Abbasiyah
Jatuhnya
kerajaan Abbasiyah oleh serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa
pertengahan abad ke-13 M., ketika kota Baghdad sebagai pusat ilmu dan
kebudayaan hancur sama sekali. Sekitar 800. 000 penduduk Baghdad dibunuh.
Perpustakaan dihancurkan, ribuan rumah penduduk diratakan. Dalam peristiwa
tersebut, umat Islam kehilangan lembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu
pengetahuan yang sangat berharga nilainya.
Musnahnya
beribu-ribu buku, baik buku-buku tentang keagamaan maupun ilmu-ilmu sains-
mempengaruhi perkembangan intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut
kelestarian ilmu-ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam. Berbagai literatur
sains telah lenyap. Sedangkan di kalangan masyarakat yang bebas dari bencana
kaum Mongol tidak ada yang menguasai berbagai bidang sains dan filsafat. Inilah salah-satunya yang
mempersulit umat Islam untuk mengembalikan kekayaan intelektual yang berharga
seperti pada masa kejayaan semula.
Kehancuran
Abbasiyah membuka kesempatan bagi orang-orang Turki untuk naik ke panggung
sejarah politik Islam. Keturunan Hulaghukan mendirikan Kerajaan Turki di
daerah-daerah yang mereka kuasai. Timur Lenk, keturunan Jengis Khan, membentuk
Dinasti Timur Lenk di daerah Samarkand setelah menaklukkannya pada 1369 M. Di
Asia Kecil, seorang keturunan Kepala Suku Turki, Usman, membangun dinasti yang
dinamai Usmaniyah. Selain Asia Kecil, Dinasti Usmani mencapai sukses besar
dalam mengembangkan wilayah kekuasaannya sehingga meliputi Asia Kecil, Armenia,
Irak, Suria, Libia, Tunis, Al-Jazair, Bulgaria, Yaman, Yugoslavia, Albania, dan
Rumania.
Penguasa-penguasa
Turki tersebut mengerahkan segenap perhatian mereka untuk kebesaran dan
kejayaan politik. Mereka kurang begitu memperhatikan pemikiran dan ilmu
pengetahuan. Memang mereka menyemarakkan pelaksanaan pengajaran dan pendidikan
Islam, namun mereka juga terbawa oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang
tidak peduli terhadap intelektual Islam. Di Irak juga berdiri kerajaan besar,
yaitu Kerajaan Syafawi. Sedangkan di India terdapat kerajaan Islam yang besar
seperti halnya Kerajaan Syafawi dan Kerajaan Usmani.
Akan
tetapi, kerajaan-kerajaan besar tersebut kurang antusias terhadap kehidupan
pemikiran Islam. Meski mereka mempunyai kejayaan terutama dalam bentuk literatur,
seperti diungkapkan oleh Harun Nasution, namun bobot dan jumlahnya tidak
mengagumkan seperti pada masa sebelumnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan
kurang sekali. Kurangnya perhatian penguasa-penguasa terhadap kehidupan
intelektualisme menambah umat Islam semakin tidak bergairah untuk melahirkan
karya-karya intelektual sehingga ilmu pengetahuan Islam mengalami stagnasi.
2.11 Dikuasainya Sektor Prekonomian oleh Eropa
Eropa
yang telah menemukan kebangkitan intelektual, mulai meninggalkan umat Islam.
Bangkitnya rasionalisme dan intelektual telah menuntun orang-orang Eropa
menemukan sumber-sumber kekayaan di luar Eropa, seperti Amerika, Australia, dan
Timur Jauh. Penemuan Tanjung Harapan pada abad ke-15 M, oleh pelaut-pelaut
Eropa Barat sangat memukul prekonomian Islam. Jalur perdagangan Timur Jauh dan
Barat yang dahulu dikuasai oleh Islam karena harus melewati jalur darat milik
Islam, berpindah melalui jalur laut melalui Tanjung Harapan sehingga
negara-negara Barat dapat menggantikan kedudukan Islam sebagai penguasa
perdagangan jalur Barat.
Ekonomi
yang meningkat dan pemikiran rasional yang berkembang baik membawa Eropa ke
zaman modern yang ditandai dengan kemajuan dalam pemikiran dan sains serta
teknologi. Setelah lama Eropa tak mempunyai adikuasa, mulailah muncul di sana
pada abad kedelapan belas M. Dua adikuasa yaitu, Inggris dan Perancis.
Ketiga
adikuasa Islam, Kerajaan Turki ‘Ustsmani, Safawi, dan Mughal kini menghadapi
saingan. Sementara itu, pemikiran
rasional dan orientasi dunia, yang telah hilang dari dunia Islam- digantikan
dengan pemikiran tradisional dan orientasi akhirat- tidak bisa mengembangkan
sains dan teknologi. Di Eropa berkembang dengan cepat sains dan teknologi.
Maka
dalam persaingan ini Inggris dan Prancis dengan sains dan teknologi modernnya
mengungguli ketiga adikuasa Islam tersebut. Persenjataan Kerajaan, Utsmani,
Safawi, dan Mughal yang masih tradisional tak dapat mengimbangi persenjataan
Inggris dan Perancis yang modern. Maka dalam peperangan-peperangan antara dunia
Islam dan Barat, dunia Islam senantiasa mengalami kekalahan.
Jangankan
melawan Inggris dan Prancis, melawan Spanyol dan Portugal, keduanya hanya
merupakan dunia kecil, dunia Islam tak sanggup. Portugal menyerang dunia Islam
sebagai balas dendam terhadap umat Islam yang menguasai daerah mereka di Eropa
untuk lebih dari 700 tahun. Di Timur Jauh Spanyol dan Portugal dapat menjajah
beberapa daerah seperti Filipina oleh Spanyol dan Timor Timur oleh Portugal.
Kerajaan
Mughal di India dihancurkan Inggris pada 1857 M. Kerajaan Safawi di Persia
tidak dihancurkan baik oleh Inggris dan Prancis, tetapi jatuh dengan
sendirinya. Raja-raja Persia sesudahnya tak pernah lagi membuat negara ini
menjadi adikuasa.
Kerajaan
Utsmani dalam peperangannya dengan Eropa mulai dari abad kedelapan belas selalu
mengalami kekalahan sehingga ia degelari The Sick Man of Europe, orang sakit
Eropa. Tetapi, ia masih tetap bertahan sampai permulaan abad kedua puluh M.
Kerajaan Turki Utsmani turut perang bersama Jerman melawan Inggris dan Prancis
dalam Perang Dunia ke-satu, tetapi mengalami kekalahan. Di sini berakhirlah
wujud Kerajaan Turki Utsmani dan sekaligus berakhir pula masa adikuasa Islam,
untuk selanjutnya diganti oleh adikuasa dunia Barat.
Kekayaan
yang melimpah membuat Eropa semakin kuat baik dalam politik, ekonomi, bahkan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, timbul tekanan Barat
terhadap umat Islam. Semakin hari umat Islam dibuat lemah oleh Barat. Di
kemudian hari, lahirlah upaya-upaya pembaruan atau modernisme di dunia Islam.
Namun, mereka tetap belum mampu
mengejar
ketinggalan mereka dari Barat; dan akhirnya malah terjadi kolonialisme di
beberapa wilayah yang mayoritas penduduknya umat Islam, misalnya Indonesia,
Malaysia, India, Siria,
dan
Lebanon.
2.12
Sunnatullah
Sungguh,
keadaan umat Islam yang jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain memang sangat
memilukan. Namun barangkali tida perlu disesali sedemikian rupa sehingga kita
kehilangan kemampuan melihat ke depan dengan penuh harapan. Kemunduran dunia
Islam dapat dilihat sebagai wujud operasi Sunnatullah. Salah satu unsur penting
hukum itu ialah adanya prinsip perputaran (mudawalah). Yaitu, prinsip bahwa
nasib umat manusia, tinggi dan rendah, terjadi secara berputar dan bergilir
antara mereka, sehingga suatu bangsa atau umat adakalanya berada di atas
(menang, unggul, maju, dll.) dan juga adakalanya di bawah (kalah, merosot,
terbelakang, dll.), sebagaimana yang dikemukakan Allah Swt, dalam al-Qur’an Surah, al-Imran, [3]: 140-141 sebagai
berikut;
“Jika
luka (kesusahan) menimpa diri kamu, maka (ketahuilah) bahwa luka yang sama
telah menimpa pula golongan yang lain. Dan begitulah hari (hisab) kami buat
berputar di antara manusia, agar Allah memeriksa orang-orang yang beriman dan
mengangkat mereka sebagai saksi-saksi. Allah tidak suka kepada orang-orang yang
zalim. Dan juga agar Allah membersihkan mereka yang beriman, dan membinasakan
orang-orang yang menentang kebenaran (kafir).” (QS. al-Imran, [3]: 140-141).
Demikianlah
gambaran umat Islam yang mengalami kemunduran tidak hanya dalam bidang
pendidikan dan pemikiran tetapi juga pada aspek-aspek lainnya, seperti
keagamaan, kemasyarakatan, politik, dan ekonomi- dan yang lebih menyedihkannya
lagi umat Islam terjebak dalam kehidupan yang statis, jumud, dan terbelakang.
C. PERLUNYA PEMURNIAN DAN PEMBAHARUAN
Pembaharuan
Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
madern. Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara
harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Dalam
pengertian itu, sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi
pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan
jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah. Rasulullah
pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini
(Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang akan memperbaiki –memperbaharui-
agamanya” (HR. Abu Daud). Meskipun demikian, istilah ini baru terkenal dan
populer pada awal abad ke-18. tepatnya setelah munculnya gaung pemikiran dan
gerakan pembaharuan Islam, menyusul kontak politik dan intelektual dengan
Barat. Pada waktu itu, baik secvara politis maupun secara intelektual, Islam
telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern.
Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit muslim merasa perlu uintuk
melakukan pembaharuan.
Dari
kata tajdid ini selanjutnya muncul istilah-istilah lain yang pada dasarnya
lebih merupakan bentuk tajdid. Diantaranya adalah reformasi, purifikasi,
modernisme dan sebagainya. Istilah yang bergam itu mengindikasikan bahwa hal
itu terdapat variasi entah pada aspek metodologi, doktrin maupun solusi, dalam
gerakan tajdid yang muncul di dunia Islam.
Secara
geneologis, gerakan pembaharuan Islam dapat ditelusuri akarnya pada doktrin
Islam itu sendiri. Akan tetapi, ia mendapatkan momentum ketika Islam berhadapan
dengan modernitas pada abad ke-19. pergumulan antara Islam dan modernitas yang
berlangsung sejak Islam sebagai kekuatan politik mulai merosot pada abad ke-18
merupakan agenda yang menyita banyak energi dikalangan intelektual muslim.
Kaitan agama dengan modernitas memang merupakan masalah yang pelik, lebih pelik
dibanding dengan masalah-masalah dalam kehidupan lain. Hal ini karena agama
doktrin yang bersifat absolut, kekal, tidak dapat diubah, dan mutlak benar;.
Sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar
dan tuntutan modernitas atau lebih tepatnya lagi ilmu pengerahuan dan teknologi
2.13
Pembaharuan di dunia islam
Pemikiran
pembaharuan atau modernisasi dalam Islam timbul terutama sebagai hasil kontak yang terjadi antara dunia Islam
dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad XIX sadar bahwa mereka
telah mengalami kemunduran diperbandingan dengan Barat. Sebelum periode modern,
kontak sebenarnya sudah ada, terlebih antara Kerajaan Usmani yang mempunyai
daerah kekuasaan di daratan Eropa dengan beberapa negara Barat.
Pembaharuan
yang diusahakan pemuka-pemuka Usmani abad kedelapan belas tidak ada artinya.
Usaha dilanjutkan di abad kesembilan belas dan inilah kemudian yang membawa
kepada perubahan besar di Turki. Seoarang terpelajar Islam memberikan gambaran
pada abad kesembilan belas, Ia mengatakan betapa terbelakangnya umat Islam
ketika itu.
Kontak
dengan kebudayaan Barat yang lebih tinggi ini ditambah dengan cepatnya kekuatan
Mesir dapat dipatahkan oleh Napoleon, membuka mata pemuka-pemuka Islam Mesir
untuk mengadakan pembaharuan. Dimana usaha pembaharuan dimulai oleh Muhammad
Ali Pasya (1765-1848 M) seorang perwira Turki.
Hal
ini dilakukan karena betapa pun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama
atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi
oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya.
Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan
dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Selain
itu pembaharuan dalam islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar
mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an & Al-Sunnah. Hal ini
perlu dilakukan karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Qur’an
dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, maka pembaharuan
islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar
sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an &
Al-Sunnah.
2.14 Latar belakang munculnya pembaharuan pada
islam
Dalam
usaha pembaruan ala barat (sekulerisme), usaha pembaruan malah menjadi usaha
pendangkalan dan pemusnahan ajaran Islam. Sedangkan pembaruan dimaksud Islam
adalah kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan tetap menjaga esensi dan
karakteristik ajaran Islam.
Periode
modern (1800 M dan seterusnya) adalah zaman kebangkitan bagi umat islam. Ketika
mesir jatuh ketangan barat (Perancis) serentak mengagetkan sekaligus
mengingatkan umat islam bahwa ada peradaban yang maju di barat sana (eropa) dan
merupakan ancaman bagi islam. Sehingga menimbulkan keharusan bagi raja-raja
islam dan pemuka-pemuka islam itu untuk melakukan pembaharuan dalam islam.
Dalam
kenyataanya (ironis memang) selain radiasi modernisasi yang kuat dari luar, kekeroposan di dalam
islam sendiri juga terjadi. Mengakibatkan gerakan-gerakan perlunya pembaharuan
dalam islam. Namun, dalam perjalanannya di dalam islam terjadi perbedaan
pandangan tentang bagaimana menyikapi dan menindaklanjuti pembaharuan dan atau
modernisasi dalam islam.
Hal
sedemikian itu menyebabkan munculnya istilah kaum medernis dan kaum
tradisionalis. Basis Islam tradisional dan legitimasi masyarakat kaum Muslim
perlahan-lahan berubah sejalan dengan makin disekularkannya ideologi, hukum dan
lembaga-lembaga negara. Secara kasat mata terjadi dua sudut pandang yang
berbeda, lambat laun terlihat adanya benang merah yang bisa ditarik (muncul
titik temu) dari dua pandangan tersebut yang bisa ditarik (tentunya masih
menyisakan pandangan yang berbeda pula),Yaitu, yang dimaksud dengan pembaharuan
dalam islam, bukan mengubah Al-quran dan Al-hadis, tetapi justru kembali kepada
Al-quran dan Al-hadis, sebagai sumber ajaran islam yang utama. Dengan
pengamalan-pengamalan yang murni tanpa terkontaminasi paham-paham yang
bertentangan dengan Al-quran dan Al-hadis itu sendiri.
2.15 Landasan teologis gerakan pembaharuan
1.
Pemurnian ajaran Islam dari syirik takhayul, bid’ah, khurafat, animisme,
kembali pada Al Qur’an dan Hadits.
2.
Menghargai akal.
3.
Pembukaan ijtihad.
4.
Menolak taklid.
5.
Persatuan umat islam / ukhuwah islamiyah.
6.
Penolakan paham fatalisme.
2.16 Tahapan pembaharuan Islam
Gerakan
pembaharuan Islam telah melewati sejarah panjang. Secara historis, perkembangan
pembaharuan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap. Keempatnya
menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan
lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran
dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaharuan Islam muncul
bersamaan dengan fase-fase kemoderenan yang telah cukup lama melanda dunia,
yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus berekspansi hingga sekarang.
Tahap-tahap
gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut: pertama,
adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis
(premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish).
Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim.
Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap
dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri
pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah
perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara
mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam.
Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari
segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan
gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”.
Reorientasi
semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan
purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan
praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus
ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum
intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika
seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup
diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri lain gerakan ini,
adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah. Wahhabiyah berangkali
merupakan contoh yang paling refresentatif untuk menggambarkan model gerakan
ini dalam realitas.
Model
kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Di sini pembaharuan Islam
termanifestasikan dalam pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini
tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang
paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga
merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan
rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model
gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme
Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaharu
pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun
demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk
seruan yang makin senter untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pada
tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena
mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim
mundur karena meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model
gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali
peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaharuan politik melalui bentuk
pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi
kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak
lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya.
Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh
hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki
kebebasan gerakan pembaharuan. Mereka ingin mempertahankan status quo
masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.
Tahap
ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis
(posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist).
Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih
dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem
politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan
sosial dan politik yang merupakan aksentusi utama dari tahap ini mulai dilansir
dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap
sebagai lembaga pendidikan modern –untuk dibedakan dengan madrasah yang
tradisional- juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti
pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap
ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan
merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya.
Sejalan
dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan dikalangan muslim, bahwa Islam di
samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan,
nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua
bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya
arus “pemBaratan” di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak
tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam
dan ajaran-ajarannya.
Dalam
ketiga tahap itulah muncul gerakan tahap keempat yang disebut neomodernisme.
Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian,
Fazlur Rahman sebagai “pengibar bendera” neomodernisme menegaskan bahwa gerakan ini dilancarkan berdasarkan krtik
terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman, gerakan-gerakan
terdahulu hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil
begitu saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan simbol-simbol Islam
tanpa disertai sikap kritis terhadap Barat dan warisan Islam. Dengan sikap
kritis, baik terhadap Barat maupun warisan Islam sendiri, maka kaum muslim akan
menemukan soludi bagi masa depannya.
2.17 Upaya-upaya pembaharuan di dunia islam
Tanggapan
kaum muslim terhadap kemajuan yang diberikan oleh negara barat yang sering
disebut modern itu berbeda-beda. Karena tidak bisa di pungkiri lagi kemajuan
Barat dalam segala bidangnya sebagai indikasi sederhana bahwa “genderang”
modernisasi yang “ditabuh” di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari mata
rantai dan tranmisi terhadap prestasi kemajuan yang diukir oleh dunia Barat.
Baik modernisasi yang dilakukan hari ini sebagai langkah negara barat yang ingin menguasai
negara dan meyebarkan ideologinya.
Sebagaimana
contoh dalam pendidikan , modern dianggap sebagai sesuatu yang asing, berlebihan dan mengancam
kepercayaan agama. Kaum Muslim tidak perlu jauh-jauh dalam menemukan
orang-orang Eropa yang mempunyai pendapat yang memperkuat rasa takut mereka. Seorang penulis Inggris yaitu William
Wilson Hunter berkata: “Agama-agama di Asia yang begitu agung akan berubah
bagaikan batang kayu yang kering jika berhubungan dengan kenyataan dinginnya
ilmu-ilmu pengetahuan Barat”.
Bagi
banyak orang, kenyataan akan keungulan Eropa harus diakui dan dihadapi dari
pelajaran-pelajaran yang harus diperhatikan demi kelangsungan hidup. Seperti
contoh para pengusaha Muslim zaman kerajaan Utsmaniyah, Mesir dan Iran berpaling
ke Barat mengembangkan program-program modernisasi politik, ekonomi dan militer
yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi Eropa.
Meraka
berusaha menyaingi kekuatan Barat, mengembangkan militer dan birokrasi yang
modern dan piawai dan mencari ilmu pengetahuan yang menyangkut persenjataan
modern. Guru-guru Eropa didatangkan, misi-misi pendidikan dikirim ke Eropa,
dimana kaum Muslim belajar bahasa, ilmu pengetahuan dan politik. Biro-biro
penerjemah dan penerbit didirikan untuk menerjemahkan dan menerbitkan
karya-karya Barat.
Generasi
elite intelektual pun lahir-modern, terpelajar dan terbaratkan, keadaan inilah
yang mengakibatkan perubahan tersebut, dan kelompok kecil kaum elite-lah yang
melaksanakan hal ini serta merupakan pewaris utama perubahan. Hasilnya adalah
sederetan reformasi militer, administrasi, pendidikan ekonomi, hukum dan
sosial, yang sangat dipengaruhi dan diilhami oleh Barat untuk “Memodernkan”
masyarakat Islam.
Modernisasi
melalui model-model Barat yang diaplikasikan oleh penguasa Muslim terutama
motivasinya adalah keinginan untuk memperkuat dan memusatkan kekuasaan mereka,
bukan untuk berbagi. Akibat utama modernisasi adalah timbulnya kaum elite baru
dan perpecahan umat Islam, yang tampak dalam sistem-sistem pendidikan dan hukum.
Di
kalangan orientalis sendiri (Gibb dan Smith), menilai reaksi modernisasi yang
dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “Apologetis” terhadap Islam
dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris. Kristen
dengan menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi
dipandang sebagai “Romantisisme” atas kegemilangan peradaban Islam yang memaksa
Barat untuk belajar di dunia Islam.
Akan
tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan
mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk
mengadopsi kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.
Dari
data historis inilah nampaknya di kalangan sarjana Muslim tidak sepakat
kolektif atau meminjam istilah Yusril “acapkali digunakan secara tidak seimbang
dan jauh dari sikap netral”, kalau modernisasi itu dikaitkan apalagi dikatakan
sesaui dengan ajaran Islam karena alasan sejarah bahwa lahirnya modernisasi
pada awalnya bukan berasal dari “rahim” ajaran Islam melainkan muncul dan
perkembangan keagamaan di kalangan Kristen, sehingga tidak mengherankan kalau
umpamanya kalangan fundamentalis, seperti Maryam Jameelah menganggap
modernisasi adalah usaha “Membaratkan” dan “Mensekulerkan” dengan menuduh tokoh
modernis, seperti Afghani (1838-1897), Abduh (1849-1905) hingga Thaha Husayn
sebagai agen Barat.
Demikian
juga sebaliknya di kalangan tokoh-tokoh yang menyebut dirinya sebagai modernis
menuduh kalangan yang menolak modernisasi sebagai “orang-orang yang dangkal dan
anti intelektual, bahkan menurut kesimpulan ‘Ali Syariati “kemacetan pemikiran
yang diakibatkan kalangan fundamental menghasilkan Islam dekaden”, sehingga
dapat dikatakan konotasi modernisasi sangat tergantung kepada siapa yang
menggunakan dan dalam konteks apa digunakan modernisasi tersebut.
Penetrasi
dan Perkembangan Modernisasi di Dunia Islam Dapat dipastikan bahwa penetrasi
dan perkembangan modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi
dengan Barat dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Koneksasi
yang diduga kuat mengilhami lahirnya modernisasi di dunia Islam dengan
dikenalnya seperangkat gagasan Barat pada permulaan abad ke-XIX yang dalam
sejarah Islam disebut sebagai permulaan periode modern. Koneksasi ini juga
membawa fenomena baru bagi dunia Islam seperti diperkenalkannya rasionalisme,
nasionalisme, demokrasi dan sebagainya yang semuanya menimbulkan “Goncangan
Hebat” bagi para pemimpin dunia Islam, bahkan diantara sebagiannya ada yang
tertarik dengan gagasan yang “dihembuskan” Barat tersebut yang secara
pelan-pelan mulai mempelajarinya dan pada akhirnya berubaha untuk mewujudkannya
dalam realitas kehidupan umat Islam.
2.18 Pembaharuan Islam di Indonesia
Pada
awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus
pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan
sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru
Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari
luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Surkati
(Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan
melalui media publikasi dan korespondensi mereka berkesempatan untuk dapat
berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh lainnya seperti
Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari
ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India.
Ide-ide
pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat
dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur:
1. Jalur haji dan mukim, yakni tradisi
(pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim
untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau
pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas
keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide
baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi
pemikiran dan dakwah mereka di tanah air
2. Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau
majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir
maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut kemudian menarik muslim
nusantara untuk mentransliterasikannya ke dalam bahasa lokal, seperti pernah
muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat
juga terbit al-Munir yang sebagian materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam
bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi anggota masyarakat yang hanya menguasai
bahasa ini
3. Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu
di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan
Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni pendidikan Mekah.
secara
umum kelahiran dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud
respon terhadap kemunduran Islam sebagai agama karena praktek-praktek
penyimpangan, keterbelakangan para pemeluknya dan adanya invansi politik,
kultural dan intelektual dari dunia Barat.
gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang
sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting
dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad
ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui
kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah
menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu alternatif yang
mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai sumber rujukan
teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya. Sekalipun
demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara
dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di
masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang
terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama
menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya.
Dengan kian massifnya kiprah gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah masyarakat, secara umum pada
awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam di Indonesia dapat
dipetakan dengan meminjam sebagai berikut: (1) Tradisionalis-konservatis, yakni
mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan
mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan
tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari
kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan; (2) Reformis-modernis, yakni
mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat
maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam
berinteraksi dengan perkembangan zaman; (3) Radikal-puritan, seraya sepakat
dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai
kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih
percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga
mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan,
menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang
berkembang di Turki.
2.19 Intepretasi
Seperti
kita ketahui bahwa kita sudah berada pada peradaban yang semakin maju, dimana
pemikiran dan kebutuhan dari segala aspek meningkat pesat. Oleh karena itu
sebagai muslim kita perlu mengadakan pembaharuan dalam memahami Islam secara
utuh agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di zaman modern. Tetapi
satu hal yang harus kita ingat dan garis bawahi adalah agar dalam melakukan
pembaharuan islam untuk disesuaikan dengan zaman modern ini agar tidak
meninggalkan atau melupakan dasar-dasar islam yang kita harus kita pegang teguh
yaitu dari Al-quran dan hadist-hadist Nabi Saw karena Islam tetaplah Islam,
yang kita butuhkan adalah sudut pandang baru bukan Islam yang baru.
D. Tokoh-tokoh pembaharu
Adapun
tokoh-tokoh gerakan pembaharuan dalam Islam adalah :
Mesir :
1. Muhammad Ali Pasya dengan usahanya
menterjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab.
2. Al-Tahtawi yang berpendapat bahwa
penterjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab penting, agar umat Islam
dapat mengetahui ilmu-ilmu yang membawa kemajuan Barat. Dia juga aktif
mengarang dan menerbitkan surat kabar resmi " ????? ?? ???????" dan
mendirikan majallah " ???? ???????" yang bertujuan memajukan bahasa
Arab dan menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan modern kepada khalayak ramai. Dia
berpendapat bahwa ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar mereka dapat
menyesuaikan syari’at dengan kebutuhan-kebutuhan modern. Ini mengisyaratkan
bahwa pintu ijtihad masih terbuka, tapi dia belum berani mengatakan secara
terang-terangan. Dia juga mencela paham fatalisme. Menurutnya, disamping orang
harus percaya pada qadha dan kadar Tuhan, ia harus berusaha
3. Jamaluddin Al Afghani dengan usahanya mendirikan perkumpulan
“Urwatul Wusqo” . Pemikirannya : Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua
zaman dan semua keadaan. Pintu ijtihad masih terbuka, kemunduran Islam karena
meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Paham qadha dan kadar dirusak
oleh paham fatalisme yang membawa umat
Islam pada keadaan statis, lemahnya rasa persaudaraan umat Islam.
4. Muhammad Abduh dengan pemikirannya bahwa,
kemunduran-kemunduran disebabkan oleh
paham jumud di kalangan umat Islam yaitu keadaan membeku, statis, tidak
ada perubahan, dan juga masuknya bid’ah dalam Islam yang membuat umat Islam
lupa akan ajaran Islam yang sebenarnya, pintu ijtihad perlu dibuka kembali,
memerangi taklid, merubah cara pandang/faham jumud/fatalisme menjadi faham
dinamika (kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan).
5. Rasyid Ridha dengan usahanya menerbitkan
majalah “ Al Manar” yang bertujuan mengadakan pembaharuan dalam bidang agama,
sosial dan ekonomi, memberantas takhayul, bid’ah, menghilangkan paham
fatalisme. Pemikirannya bahwa umat Islam mundur sebab tidak mengamalkan ajaran
yang sebenarnya. Perlu dihidupkan paham jihad, persatuan umat Islam, ijtihad.
Turki :
1. Sultan Mahmud II dengan mengadakan
perubahan : dalam organisasi pemerintahan, bidang pendidikan antara lain
menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah, mendirikan sekolah
militer, sekolah teknik, kedokteran dan sekolah pembedahan, mengirim
siswa-siswa ke Eropa.
2. Tanzimat yaitu pembaharuan sebagai lanjutan dari usaha-usaha sultan Mahmud II,
dengan tokohnya Mustafa Rasyid Pasya.
3. Usmani muda yaitu golongan intelegensia
kerajaan Usmani yang banyak menentang kekuasaan absolut Sultan, dengan tokohnya
Ziya Pasya.
4. Turki muda
5. Mustafa Kemal Pasya dengan ide westernisme,
sekularisasi, nasionalisme.
India-Pakistan :
1. Gerakan mujahidin dengan tokohnya sayyid
Ahmad Syahid dengan pemikirannya : bahwa umat Islam India mundur karena agama
yang mereka anut tidak lagi murni, tetapi bercampur dengan faham dari Persia
dan India, Animisme dan adat istiadat Hindu. Yang boleh disembah hanya Tuhan
tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebihan, tidak boleh memberikan sifat
yang berlebihan pada makhluk, sunnah yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan
sunnah Khalifah yang empat, dan larangan bid’ah, menentang taklid.
2. Sayyid Ahmad Khan dengan pandangan bahwa
umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman, harus
menghargai kekuatan akal, menentang paham fatalisme, menolak taklid, pendidikan
merupakan satu-satunya jalan bagi umat Islam India untuk mencapai kemajuan.
3. Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali.
Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Abul Kalam Azad, dll.
Indonesia :
Salah
satunya adalah Muhammadiyah, dengan pemimpinnya KH. Ahmad Dahlan
BAB III
KESIMPULAN
Dalam
bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara harfiah tajdîd
berarti pembaharuan. Kemunculan gerakan pembaharuan Islam tidak bisa dipisahkan
dari kondisi obyektif kaum muslim di satu sisi dan tantangan Barat yang muncul
di hadapan Islam di sisi lain. Dari sudut pandang ini, Islam memang menghadapi
tantangan dari dua arah, yaitu dari dalam dan dari luar. Dengan demikian,
Pengertian pembaharuan bukan hanya mencakup perbaikan kondisi obyektif
masyarakat muslim, tetapi juga mencakup jawaban Islam atas tantangan
modernitas.
Pembaharuan
Islam juga mngindikasikan ketidakpuasan atas kondisi Islam historis yang
berkembang sejak abad ke-18. oleh karena itu, kaum pembaru ingin membangun cita
ideal Islam yang maju dan modern.
Periode
modern (1800 M dan seterusnya) adalah zaman kebangkitan bagi umat islam. Ketika
mesir jatuh ketangan barat (Perancis) serentak mengagetkan sekaligus
mengingatkan umat islam bahwa ada peradaban yang maju di barat sana (eropa) dan
merupakan ancaman bagi islam. Sehingga menimbulkan keharusan bagi raja-raja
islam dan pemuka-pemuka islam itu untuk melakukan usaha pembaharuan dalam
islam.
Dalam
kenyataanya (ironis memang) selain radiasi modernisasi yang kuat dari luar, kekeroposan di dalam
islam sendiri juga terjadi. Mengakibatkan gerakan-gerakan perlunya pembaharuan
dalam islam. Namun, dalam perjalanannya di dalam islam terjadi perbedaan
pandangan tentang bagaimana menyikapi dan menindaklanjuti usaha pembaharuan dan
atau modernisasi dalam islam.
Sesungguhnya,
keadaan umat Islam yang jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain memang sangat
memilukan. Namun barangkali tidak perlu disesali sedemikian rupa sehingga kita
kehilangan kemampuan melihat kedepan dengan penuh harapan. Sebagaimana yang
telah dikemukakan bahwa yang paling diperlukan pada tahap sekarang ini ialah
membangkitkan kembali etos intelektual Islam klasik yang membuat para pendahulu
kaum Muslim begitu kreatif dan kuat dalam wawasan. Tentunya yang amat
diperlukan lagi- sejalan dengan etos intelektual itu- ialah etos kemanusiaan,
yakni sikap percaya kepada manusia dan kekuatannya. Inilah dasar
kosmopolitanisme Islam masa lalu, yang melihat perbendaharaan kultural umat
manusia sebagai milik sendiri sehingga tak segan-segan mengambil serta
mengembangkannya.
Kemudian
juga diperlukan upaya terus-menerus umat Islam dalam meningkatkan kreativitas
ilmiah, kemampuan berpikir rasional, kesanggupan menghargai pandangan yang
berbeda, semangat keterbukaan, gairah belajar dari mana dan siapa saja.
Sebagaimana yang dikemukakan Imam Malik, “Laa yashluhu amru hadzihil ummah illa
bimaa bihi awwaluha.” Dalam artian bahwa- umat Islam harus mengikuti
langkah-langkah yang ditempuh para ulama, pemikir, dan negarawan Islam
terdahulu, yakni mempunyai semangat jihad, ijtihad, dan bersikap terbuka dalam
menyongsong hari depan yang penuh harapan dan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar